Tuesday 16 February 2016

15:09 - 5 comments

"PINOCCHIO"


Awalnya bagiku bohong punya 2 alasan,
alasan pertama ingin menutupi keadaan kondisi yang sebenarnya,
dan yang kedua, ingin dianggap unggul oleh sesama.
Ya, kedua alasan tadi kupakai untuk mengada-adakan sesuatu yang tidak ada.
Melebih-lebihkan yang kecil menjadi besar, bahkan kadang besarnya melebihi idealisme mahasiswa.

Entah mengapa menurutku bohong tidaklah salah, walau kutahu pasti ia bagian dari dosa.
Seringkali diriku tanpa sadar memaklumi kebohongan-kebohongan kecil, yang besarannya masih masuk nalar logika sahabat-sahabatku.
Ketika besarannya melampaui batasan, kemudian secara sadar aku berbohong (lagi dan lagi),
100% keyakinanku berkata para sahabat sudah jelas dapat menilai mana yang benar dan mana yang fiktif belaka.

Semakin lama kurenungkan, jangan-jangan keberadaanku tumbuh dari tumpukan dusta yang kubuat.
Hidupku yang justru unik dengan segala kekurangannya, tenggelam dengan kisah-kisah kebohonganku semata.
Dan sahabat-sahabatku pun perlahan mulai menjauh, melindungi dirinya masing-masing karena takut bergaul denganku. Ya mana ada orang yang tahan berdampingan dengan pembual sepertiku.
Dapat disimpulkan kedua alasan tadi masih belum cukup menyadarkanku bahwa berbohong adalah kesalahan yang fatal.

Namun pada akhirnya setelah sekian lama, aku menemukan alasan yang ketiga.
Dan alasan terakhir inilah yang konsekuensinya (akhirnya) dapat mengubahkan diriku.
Selalu merasa tak percaya dengan setiap orang, dan hal tersebut yang cukup memberikan rasa sakit di hati.
Aku tak bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi.
Aku juga tak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan.
Kemudian yang paling parah di antara yang terparah dari alasan yang ketiga ini adalah,

aku tak tahu siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekedar modus.

“The liar's punishment is, not in the least that he is not believed, but that he cannot believe anyone else.” ― George Bernard ShawThe Quintessence of Ibsenism

Monday 15 February 2016

16:19 - No comments

Bukan Valentine Sebenarnya

“tuuuttttt…tuttttt…ngiiinnggggg…tuutttttt…kleeengggg..”
“tuuuttttt…tuttttt…ngiiinnggggg…tuutttttt…kleeengggg..”
lagi-lagi diriku terbangun demi dentuman kencang kereta api yang selalu muncul di waktu tidur.

refleks dua lobang hidung besar ini mencari-cari oksigen yang menurutku entah mengapa tiba-tiba hilang mendadak.
“hhuuuuhhhh..haaaahhhh..fiuuuhhhh..”
kuhisap dalam-dalam 86% karbondioksida, dan membuangnya disertai peluh beban yang selalu muncul di setiap malam.

tiba-tiba rasa air laut jatuh dari kedua kelopak mata, entah itu air kesedihan, atau air keletihan.
yang jelas sesakku semakin penuh saat nampak kalender kusam bertanggalkan 14 Februari.

ketika keakuanku yang selalu minta disadari sahabat karib dulu.
saat dengan mudahnya aku mengada-adakan berbagai hal, walau mereka tak pernah mengharapkan apapun.
di saat naluriku yang selalu ingin unggul, dan menjadi kebanggaan di hadapan teman sepermainan.
dan secara gamblang pula kuteriakkan keras-keras biar seantero jagat tau, jika aku hebat.

14 Februari menjadi pengingat seumur hidup, bahwa setengah jiwaku pergi.
pujian semu yang kubuat, lenyap ditelan bunyi sirine ambulans.
prestasi belaka yang kupelihara, tenggelam bersamaan lautan manusia yang mengasihani.
dan yang terutama, kebohongan yang kuciptakan semakin runtuh dihantam kereta api.

ya..
istriku meninggal di tempat, dengan sepeda tua peninggalan ayah mertuaku.

tapi tunggu..
bukan hanya tulang rusuk saja yang berlalu dan tak kembali.
martabat, sahabat, dan yang paling penting,
keberadaanku pun hilang di balik nestapa sang jeruji.

ya..
aku terpenjara dengan semua misteri yang kukarang.
pengalaman kecil standar Upah Minimum Regional melesat jauh bagai supernova.
selanjutnya sepeda ayah yang sekejap berubah menjadi alphard,
semata-mata hasil karya mulutku yang bermodalkan kata-kata maya belaka.

bukan salah masinis yang tak sanggup menarik rem nya,
juga bukan penjaga palang kereta yang lupa menghentikan laju sang cinta,
dan tentu bukan pula lemahnya seruan sewot sekumpulan pemirsa.

surya berdentum kencang sebagai penentu waktu bisu ciptaan Khalik.
rel kereta api kemayoran dalam diam menjadi saksi Izrail menjemput penopang jagoan kecil.
dan yang terakhir, takdir menghantarkan diriku kepada bara api kekal abadi.

demi semesta dan jagat raya, aku lega.
karena tak ada dahaga kebanggaan lagi yang tersimpan di dada.
harapan satu-satunya kuletakkan di bahu pria mungil, si jagoan kecil.
entah bagaimana hari esoknya, yang jelas moralnya takkan terbentuk menjadi pendusta.
tak akan pernah menjadi punuk yang selalu mengada-adakan si bulan.

dan tentu, keberadaannya bukanlah sebuah kebohongan semata.