Tuesday 21 April 2015

08:56 - No comments

The Fake Pine Tree

"di rumah kalian enggak ada pohon natal kaya begini kan!",
sanggah Tulang Sam yang membuyarkan kekagumanku pada keelokan kerlap-kerlip pohon cemara buatan ini.

aku masih termangu namun entah mengapa hatiku bergerak entah kemana.
berlari namun tetap di tempat.
berteriak namun tak menggunakan pita suara.
menangis namun kutunggu-tunggu datangnya air yang rasanya asin itu,
tapi tetap ia tak mau keluar bila dirasa bukan waktunya.
"kejam kali ucapan Tulang ini",
begitu ucapanku dalam hati.

perlahan ku langkahkan kaki-kaki ku ini keluar menuju pintu di depan.
berat sekali, itu yang kurasakan saat aku hendak mengangkat kaki demi kaki,
agar setiap langkah terlihat dengan begitu pasti.

ya. itu jalan-jalan dimana aku melangkahkan hidupku.
berat.
licin.
susah payah kugapai sampai depan pintu rumah Tulang Sam.

tak terasa setiap inchi ubin melewati tahun demi tahun,
dimana aku menjaga jarak dengan pohon natal buatan itu, tepatnya di tempat Tulang Sam berdiri.
tersenyum penuh bangga kepada dirinya sendiri.

dan sampai juga pada pintu itu,
kupegang gagang pelana pintunya, dan kubuka pintu itu.

nampak dengan perawakan yang lesu, Tulang Sam menangis dan meminta belas kasihanku.
"bereku naburju, Tulangmu ini lapar",
tangisannya perlahan membuat hatiku sendu.

ingin rasanya ku balas dengan perkataannya dahulu,
"di rumah Tulang gak ada makanan kaya di sini kan!"
tapi pohon natal itu mengingatkanku, kerlap-kerlip lampu yang saat itu kutakjub akan parasnya.
setiap cahaya yang keluar dari lampu itu menyadarkanku,
bahwa keindahan itu bukan untuk disimpan saja dan dinikmati sendiri.
namun harus dibagi, diberi, apalagi dengan orang-orang terkasih.
"Tulang Sam sudah banyak menerima pembelajaran dari Sang Semesta,
pantasnya, aku, bere tercintanya, tak perlu lagi mengajarinya kembali."
senyumku mengembang.

aku memeluk Tulang Sam, dan kami menangis dalam sebuah pelukan.

“The difference between the rich and the poor, is finding true love.” - Anthony Liccione

Friday 17 April 2015

10:15 - No comments

Diamond on Saturday

"guuuuukkkk...guuuukkkkk..."
"goooookkkkk...goooookkkkkk!!!"
suara-suara bising itu membuyarkan lamunanku.
ciri khas daerah yang sedang kusinggahi akhir minggu ini,
tempat yang memang tak asing lagi bagi jari-jari kaki kecilku.

dalam-dalam kuhisap semua udara di dalam paru-paru,
yang kutahu bentuknya akan mengempis.

kutahan.
kubuang perlahan.
"Margasari jauh banget ya Tuhan!",
gumamku sendirian.

tak peduli apa kata manusia-manusia yang heran melihatku,
"kok ngomong sendirian mba?",
sapa mas-mas di sebelahku dengan penuh senyuman geli.

aku tak menjawab, hanya sesungging garis lengkung kepunyaanku di Sabtu pagi yang kulemparkan ke hadapannya.

kutengok ke kiri jalan, kucari-cari yang selalu kutunggu,
bukan cinta,
bukan harta,
bukan pula tahta.

ya. tak lain, dan tak bukan, aku menunggu bus trans-jakarta.

ku lap semua keringat yang mulai menetes ke pasminah hitam kesukaanku.
tak sengaja tercium aroma yang mengganggu hidung kecilku ini.
"ah aku belom mandi!",
seruku dalam hati, dan mas-mas tadi pun nampak tertawa kecil melihat kelakuanku,
kurasa ia mulai aneh dengan segala hal dalam diriku ini.

semenit kemudian tiba juga bus trans-jakarta yang sedari tadi kutunggu dan kunanti-nanti.
"Grogol.. Grogol!",
teriak pria paruh baya yang berlabel satgas itu.

kulangkahkan kaki kananku, dan kulihat bangku demi bangku penuh terisi.
bahkan untuk berdiri pun aku harus mencari spasi yang cukup untuk ku dapat merenggangkan otot-otot.
"mba dari Cililitan mau ke Margasari? Jauh juga ya..",
tiba-tiba ada suara yang tak asing di telinga mengejutkanku di tengah himpitan para penumpang.
"apa sih mas-mas sok asik ini!"
dumelku dalam hati.
"Permata, nama yang bagus."
ucapnya lembut, namun entah mengapa hatiku tersengat listrik saat itu juga.

tak percaya dengan apa yang kudengar, ku angkat kepalaku dan baru saja aku ingin bertanya,
tiba-tiba,
telunjuk tangannya yang besar mengarah ke tas genggamku.

dan kulihat ada gantungan tas yang menyembul dari lubang kecil dan bertuliskan namaku.
kemudian ku tersenyum malu di hadapannya. seberusaha mungkin kusembunyikan kebodohanku ini.

shelter demi shelter kami lalui, walaupun dengan sedikit usaha dan jerih payah untuk menahan tekanan dari segala penjuru.
dan tibalah pula kami pada shelter beridentitaskan patung besar yang sedang mengangkat tangan kanannya ke depan.
kemudian satgas yang sama berteriak,
"Pancoran.. Pancoran!"
mas-mas tadi menepuk pundakku, sambil tersenyum ia berkata,
"hati-hati di jalan",
dan selanjutnya memberikan secarik kartu kecil kepadaku.

aku termangu melihat tingkah laku mas-mas yang baru saja tahu namaku ini.

kulihat kartu kecil pemberiannya, warna cokelat muda, berhiaskan butir-butir hiasan permata.
ku balikkan kertas kartu itu, dan kulihat ada beberapa kata di sana.
"A diamond doesn't start out polished and shining.
It once was nothing special, but with enough pressure and time, becomes spectacular.
I'm that diamond."
tersenyum haru saat kubaca tulisan itu. tak dapat terelakkan sesuatu yang manis yang telah dilakukan mas-mas yang sedari tadi mengganggu keeksisanku di jagat trans-jakarta ini.

tersentak kupikirkan kata demi kata, kalimat demi kalimat.
"Diamond kan berlian!",
sanggahku dalam hati.
"ah tak apalah, sama saja maknanya. berlian atau permata, yang penting aku mahal harganya."
kemudian bus trans-jakarta melaju kencang, berjalan santai di atas kebahagiaan yang sederhana.
kebahagiaan dimana hanya aku seorang yang punya.
kesenangan yang mungkin orang menganggapnya berlebihan.

berharap hari ini jangan cepat berlalu,
karena semesta tahu Sabtu ini milik seorang Permata.

dan mas-mas tadi mengingatkanku dengan segala kemanisan-kemanisan yang dilakukannya,
bahwa aku memang berharga,
juga bercahaya.

saat itu juga aku berdoa atas nama Sang Khalik,
"Jodoh pasti bertemu,"
gumamku dengan pasti dan penuh pengharapan.

Thursday 16 April 2015

09:32 - No comments

Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta



Berikut ini dua pertanyaan yang paling kubenci:
Apa itu cinta?
Apa itu Tuhan?
Aku membenci kedua pertanyaan itu sepenuh hati sampai kudedikasikan seluruh hidupku untuk mencari jawabnya,
agar kedua pertanyaan itu berhenti menghantui.
Dan tidak ada yang lebih memahitkan mulut, memualkan perut, menyesakkan jantung,
ketika seseorang muncul dengan kertas dan pulpen, atau alat perekam, di tengah jam makan siang,
saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, saat makanan di piring memohon perhatian penuhmu,
dan orang itu bertanya:
“Menurut Anda, apa itu cinta?”
Demi sopan santun dan etika budaya, aku tahankan garpu agar tak mencelat ke bola matanya,
dan kugenggam erat-erat piringku agar tak pecah jadi dua di atas batok kepala wartawan itu.

Aku hanya menggeram dan mengulang:
“Cinta?”
Si wartawan pun berpikir bahwa pertanyaan brilian berikutnya akan memancing jawaban lebih panjang dan lebih mencengangkan,
yang akan menghibur para pembaca majalahnya bersama-sama artikel 10+1 cara bercinta paling panas dan peta terbaru menuju spot-spot orgasmik yang selama ini tersembunyi.
Dan dia sungguhan nekat bertanya:
“Menurut Anda, apa itu Tuhan?”
Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan benda-benda dalam radiusku yang sangat mungkin kujadikan senjata pembelaan diri atas serangan pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu.

Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta dan Tuhan yang pernah dimuntahkan mulutku seperti peluru dari senapan otomatis yang begitu hebat dan jenius hingga menembusi hati orang-orang yang mendengarnya.
Aku teringat buih dan busa di sudut mulutku saat berdiskusi tentang cinta dan Tuhan yang jika dikumpulkan barangkali bisa merendam tubuhku sendiri di bak mandi.
Aku teringat jerih payah, keringat, air mata, pegal-pegal, kurang tidur, tak makan, tak minum, yang telah kutempuh demi mencari apa itu cinta dan Tuhan.
Dan kini, meski sanggup, tak muncul secuil keinginan pun untuk mengutip data dalam ingatanku.

Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk.
“Begini,” aku mulai menjelaskan,
“pertama-tama, dengan mengetahui apa itu cinta, kita akan mengetahui Tuhan.
Dan ketika kita mengetahui Tuhan, kita juga jadi tahu apa itu cinta.
Jadi, kita bisa mengungkap keduanya sekaligus.”
Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan badannya ke depan, matanya berbinar antusias.
Semakin yakinlah ia betapa cemerlangnya pertanyaan-pertanyaan itu, betapa bermutu dan menantangnya.
“Tapi saya tidak ingin menjawab ini sendirian.
Saya ingin mencarinya bersama-sama. Anda setuju?”
ucapku dengan sikap tubuh yang seolah hendak mengambil ancang-ancang.

Wartawan itu terkesiap. Tak siap.
Namun rasa penasarannya terusik, dan ada keinginan kuat untuk mempertahankan reputasinya sebagai sang penanya brilian.
Akhirnya, ia mengangguk setuju. Aku lantas menyambar mangkok berisi acar, mencomot dua bawang merah utuh,
dan memberikan satu butir kepada wartawan itu.
“Ayo, kita kupas. Pakai kuku.”
Dan tanpa menunggu, dengan semangat dan giat aku mulai mengupas.

Meski ragu, si wartawan mulai ikut. Mukanya tampak enggan dan berkernyit-kernyit tanda tak rela.
“Ayo. Terus, sampai habis.”
Sesekali aku mengingatkan, karena sering kali dia berhenti atau melambat.
Demikianlah kami berdua, dengan mata mengerjap-ngerjap perih,
mengupasi bawang dengan kuku yang akhirnya jadi lebih mirip mencacah,
dengan serpih-serpih bawang yang berantakan mengotori meja.
Dan akhirnya kami berhenti ketika serpih terakhir sudah terlampau kecil untuk bisa dikupas.
Berlinangan air mata, yang jatuh bukan karena duka atau suka, aku pun berkata:
“Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa.”
Sambil terisak, yang bukan karena haru bahagia atau haru nelangsa,
lagi aku berkata:
“Itulah cinta. Itulah Tuhan.
Pengalaman, bukan penjelasan.
Perjalanan, dan bukan tujuan.
Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban.”
Ditandai air mata ‘cinta’ yang menghiasi pipi kami berdua serta aroma ‘tuhan’ yang meruap segar dari kuku, wawancara siang itu usai.

Artikel itu kemudian terbit. Tanpa baris-baris kalimat.
Hanya gambar besar semangkok acar bawang.
Dan mereka yang membacanya menyangka bahwa itu resep afrodisiak.
Mereka lalu melahap semangkok acar bawang, bercinta,
sambil terus bertanya-tanya:
Apa itu cinta?
Apa itu Tuhan?



****-*******

Wednesday 1 April 2015

15:53 - No comments

Punggung Ayam

Sahabatku yang lahir di negeri orang,
lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana.
Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk,
ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggungnya saja.

Hanya itu yang mampu ibunya beli.
Sahabatku pun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam memiliki bagian lain selain punggung.
Ia tidak tahu ada paha, dada, atau sayap.
Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam.

Aku menghela napas.
Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah.
Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta.
Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja.

Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya.
Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar.
Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan.
Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.

Sahabatku itu adalah orang yang berbahagia.
Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian yang lain.
Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki.

Aku adalah orang yang paling bersedih,
karena aku mengetahui apa yang tidak sanggup kumiliki.

#sepenggalkaryadewilestari