Wednesday, 4 November 2015

18:41 - 2 comments

Masa Lalu (Milan Kundera)

masa lalu yang gagah, dan dipuja banyak Hawa.
berbuah manis seperti ucapan Adam.

masa lalu yang dirindukan, dan sempat memberikan ketenangan.
berlaku santun dan menyejukkan.

masa lalu yang membuatku selalu bangga pada diriku sendiri.
yang orang tak sangka seorang aku punya masa lalu seperti seorang kamu.

masa lalu yang menjadikanku pujangga dua tahun belakangan,
karena memberi luka juga penangkal rasa perih.

masa lalu yang secara alamiah,
justru banyak memberikan ketangguhan dan kebajikan jiwa bagi seorang penunggang kuda dengan kasta terendah di jagat raya,
kemudian menaikkan derajatnya dari Sudra menjadi Ksatria.

paling tidak, masa lalu yang kutahu, memberikanku makna, bahwa rindu tak berarti pilu.
pengertian kalau kangen tak melulu galau,
dan arti bahwa benci bukan selalu tak peduli.

aku merindukanmu seperti kobaran api yang merindukan siraman bensin,
agar bisa membakar lebih banyak lagi.

aku merindukanmu seperti anak kunci yang merindukan lubang pintu.

aku merindukanmu seperti luka menganga yang merindukan perban dan alkohol.

aku merindukanmu seperti payung yang merindukan hujan.

aku merindukanmu seperti pekerja yang merindukan akhir pekan.

maaf karena aku selalu benci,
padahal ada banyak ingatan baik yang kau cipta dan berikan untukku.

dan pada akhirnya secara sadar aku selalu bernostalgia,
saat dimana penderitaan hadir karena kerinduan yang tak habis-habisnya untuk kembali kepadamu.

maafkan aku karena selalu rindu,
walau ku yakin tak sedetik pun kau mengingat tentangku.

dan pada akhirnya batinku akan melonjak penuh sukacita,
dengan begitu aku akan puas dengan kebahagiaanku semata.

terimakasih banyak untukmu,
masa laluku,
ya.. itu.. kamu.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

karena kebahagiaan hanyalah kerinduan akan sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu.

Happiness is the longing for repetition.

The Greek word for return is "nostos", "algos" means suffering.
So, nostalgia is the suffering caused by an unappeased yearning to return.

(Milan, Kundera)

Tuesday, 6 October 2015

14:51 - No comments

생일 축하 합니다 (saengil chukha hamnida)

Aku sedang menebak-nebak,
kira-kira prosesi apa yang tengah kamu siapkan.
kamu selalu tergila-gila berprosesi.
segala sesuatu harus dihantarkan dengan sempurna dan terencana.
perayaan dan peringatan menyesaki kalender kita sepanjang tahun,
dan tidak pernah kamu bosan,
bahkan kamu semakin ahli.
malam ini kamu menantangku berhitung dengan stop-watch.
teleponku akan berdering tepat setengah jam lagi.
sesungguhnya, kamu sudah sehebat itu.
janjimu adalah matahariku yang terbit dan terbenam tanpa pernah keliru. 

Sambil menunggu, izinkan aku berkelakar mengenai kamu dan sayap.
sejak kepindahanku ke negara lain,
kamu terobsesi dengan segala makhluk bersayap.
kamu percaya bahwa manusia bersayap adalah hibrida termulia,
di atas manusia bersirip dan berinsang.
aku ingin percaya kamu cukup cerdas untuk tidak mencoba terbang kemari.
kalaupun itu bisa terjadi,
aku khawatir kamu mati lemas di jalan lalu jatuh ke laut.
dimakan hiu.
dan jadilah kalian hibrida yang luar biasa.
manusia bersayap di dalam perut mahluk bersirip berinsang. 

Dengan caramu mengagungkan momentum,
kamu membuatku ikut percaya betapa sakralnya peluk cium 14 Februari atau tiupan terompet tahun baru yang jatuh tepat pada hitungan 00:00.
kamu membuatku percaya ada poin tambahan jika memperlakukan hidup seperti arena balap lari.
namun imanku pada arena itu luruh dalam satu malam karena kegagalanmu mencapai garis finish.
lihatlah detik itu, jarum jam itu, momentum yang tak lagi berarti di detik pertama kamu gagal mengucapkan apa yang harusnya kamu ucapkan…
lima menit yang lalu...

Aku tidak tahu kemalangan jenis apa yang menimpa kamu,
tapi aku ingin percaya ada insiden yang cukup dahsyat di dunia serba selular ini hingga kamu tidak bisa menghubungiku.
mungkinkah matahari lupa ingatan lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit?
bahkan kiamat pun hanya bicara soal arah yang terbalik,
bukan soal perubahan jadwal.
atau mungkinkah ini akan jadi salah satu tanda kiamat kecil yang orang ramai gunjingkan,
tentang lelaki berbaju perempuan,
perempuan berbaju lelaki,
lelaki bercinta dengan lelaki,
dan perempuan bercinta dengan perempuan,
dan kalau mereka mau menengok sejarah manusia ribuan tahun terakhir ini,
tidakkah tanda semacam itu sudah apkir, klise, dan kiamat harus menyiapkan tanda-tanda baru bila masih ingin jadi hari yang paling diantisipasi,
dengan misalnya,
mengadopsi absurditas yang terjadi malam ini?
malam di mana kamu terlambat mengucapkan apa yang seharusnya kamu ucapkan... satu jam yang lalu...

Satu waktu nanti,
saat kamu berhenti percaya manusia bisa punya sayap selain lempeng besi yang didorong mesin jet,
saat kamu berhenti percaya hidup lebih bermakna bila ada wasit menyalakkan aba-aba "1,2,3”,
kamu boleh terus percaya bahwa kemarin …
besok …
lusa …
dan hari-hari sesudah itu…
aku masih di sini.
menunggu kamu mengucapkan apa yang harusnya kamu ucapkan…
berjam-jam yang lalu:

"Selamat Ulang Tahun, suryADI”, teriakku dalam hati.


****_*******

Tuesday, 29 September 2015

14:22 - No comments

k.a.k.t.u.s

bagi sebagian orang,
kaktus hanyalah tanaman yang durinya menusuk jari.

bahkan identitas kaktus erat kaitannya dengan gurun pasir yang panas.

ada juga yang beranggapan,
kaktus tak perlu diurus.
karna dengan sendirinya ia dapat tumbuh tanpa disiram dan diberi pupuk.

rupa kaktus yang tak begitu menawan,
membuatnya jarang diperhatikan di kalangan wanita pencinta tanaman.

berwarna hijau kegelap-gelapan.

bertubuh gemuk dan kadang agak sedikit bantet.

dan tentunya durinya yang tak bisa termaafkan.

mengapa kaktus tak seperti mawar yang sering dijadikan hiasan dan dapat mempercantik segala hal,
dan bahkan dijadikan simbol cinta bagi kebanyakan pasangan.

mengapa kaktus tak seperti anggrek yang populasinya banyak ditemukan.
yang bahkan khasiatnya dapat menyembuhkan beberapa penyakit,
seperti anggrek hitam.

mengapa kaktus tak sewangi melati yang sering ditemukan di berbagai kejadian,
baik duka maupun suka,
dan malah baunya dipakai sebagai pengharum badan maupun ruangan.

atau mengapa kaktus tak seperti putri malu,
yang saat seseorang melihat,
buru-buru ingin menyentuh.

kenapa tak ada yang mengingat,
kalau kaktus punya cadangan air yang banyak.
dan fakta mengatakan air di dalam kaktus bahkan dapat memisahkan 98% bakteri dari air.

kalau saja kaktus terurus dengan baik,
diberi air dan diberi pupuk dengan rajin,

aku bertaruh demi semesta dan seluruh isinya,
tujuh tahun dengannya tak akan pergi dengan begitu saja.

kini kaktus kami sudah mati,
kering,
dan tak menghasilkan air lagi.

sama seperti aku dan dirinya yang berjalan sendiri-sendiri,
tanpa ada kaktus yang menjembatani.

Wednesday, 16 September 2015

16:17 - No comments

"sampai jumpa besok pagi, Ma!"

sembilan belas tahun bukan waktu yang singkat.
namun belum juga dapat disebut waktu yang panjang.
-bagiku, seorang yang menjunjung tinggi kenikmatan ibukota.-

sembilan belas tahun aku mengabdi pada kerasnya Jakarta.
mempertaruhkan segala kebahagiaan demi selembar kepuasan.
ternyata belum juga membuatku jera dan kapok.
aku masih haus akan materi dan harta.

tapi entah mengapa, pagi itu,
kira-kira tiga tahun yang lalu.
saat Naya, putri semata wayangku, mulai masuk Sekolah Dasar,
cukup melunturkan segala kerelatifitasan duniaku.

karena memang tak ada lagi satupun yang absolut di dunia.
yang ada hanya relatif.
hanya ada kata ‘tergantung situasi’.

“sampai jumpa besok pagi, Ma!”,
seru Naya yang membuyarkan lamunanku.

kujawab dengan senyuman simpul yang penuh banyak arti.
senyuman yang kutahu justru sebuah isakan.
senyum yang menggambarkan kepedihan jiwaku,
ketika darah dagingku hanya dapat kutemui di saat aku mengantarnya ke sekolah setiap pagi.

andai Naya tahu,
kalau Ibunya bukan seorang yang gila harta.
bukan juga seorang yang cinta akan uang semata.

andai Naya tahu,
aku sudah muak dengan harga diriku yang terus-terusan menaikan nilainya.

andai Naya tahu,
kalau sampai kapanpun, uang jauh lebih menang dari sebuah waktu yang tak bersatuan.

syukurnya, Naya tak tahu.
dan tak akan pernah kuberi kesempatan untuk tahu.
kalau Ibunya hanya seorang manusia yang melacurkan segalanya.

melacurkan waktu, melacurkan kebahagiaan, melacurkan masa depan,
melacurkan kemutlakan diri,
dan terlebih melacurkan putri semata wayangnya.

karna yang Naya tahu tentang mamanya hanyalah sebatas,
“sampai jumpa besok pagi, Ma."

Friday, 21 August 2015

19:19 - No comments

"kita memang tak cocok"

“Kita bukan lagi anak SMP yang sedang berpacaran, Gain!”,
teriak Changreul dengan lantang.

saat itu kulihat kedua bola matanya mulai meredup,

lanjutnya dengan penuh terbata-bata,
“Dan aku.. Aku melihatmu sebagai seorang pria dewasa.”
aku terdiam.
kutelan semua kata-katanya.
semua amarahnya.
dan segala luapan emosi maupun perasaannya.

walau aku tak mengerti dengan apa yang ia katakan.
namun entah mengapa, bulir-bulir kristal turun dengan sendirinya,
keluar dari tempat persembunyian.

tak begitu banyak memang,
tapi datang terus-terusan.
tak ada jeda.
tak ada spasi.
dan satu hal,
tak ada alasan baginya untuk berhenti.

“Kau tak percaya padaku kalau aku mencintaimu, Gain.” 
“Kau tak pernah yakin kalau aku akan menikahimu.” 
“Kau tak mencintaiku”,
dengan pilu dan terbata-bata Changreul mengucapkan semuanya.

kuberanikan diriku untuk mengangkat kepala dan mencoba melihatnya.
dan kurasakan, betapa menderitanya Changreul selama ini.

bibirku mulai menutup keras, namun hatiku berteriak sekuat tenaga,
kau tahu Changreul?
sejujurnya aku mencintaimu dengan setulus hatiku.
kau ingat saat kau menggenggam tanganku?
disitu hatiku berdegup tak karuan.
dan kau mulai merangkulku,
kurasakan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
waktu kau bercanda mencium pipi kiriku,
tiba-tiba pikiranku pergi entah kemana.
dan apa kau ingat, Changreul,
saat kau mencuri ciuman pertamaku,
sungguh,
aku tak dapat tidur bermalam-malam.

Changreul melihat ke arahku.
seperti ia merasakan ternyata ada banyak yang tak ia pahami.
seakan ia sadar,
kalau ternyata, aku juga menderita,
sama sepertinya.

“Kita mungkin tak cocok, Gain.”,
isakan Changreul pecah.

dan aku?
aku yang sedari tadi hanya melihatnya,
berpikir keras,
bertanya,
dan berdebat dengan segala harga diri yang selalu kupertahankan mati-matian.

Changreul berbalik.
meninggalkanku perlahan,
lambat, namun pasti.

tiba-tiba,

nampak,

diriku berlari ke arahnya,
memeluknya dari belakang,
dan membiarkannya menelanjangiku dengan segala kepuasan.
tapi Changreul tak bergeming, bahkan berbalik pun enggan rasanya.

sudah terlambat.
selesai.
mungkin memang kami tak cocok, seperti katanya.

dan akhirnya baru kusadari,

ternyata bukan harga diriku yang diinginkannya,
juga bukan kehormatanku sebagai wanita yang dibutuhkannya.

melainkan,
kepercayaan yang bukan pada umumnya,

serta keberanianku untuk memberikan segala-galanya.

"Kita memang tak cocok", isakku parau.

Thursday, 18 June 2015

16:18 - No comments

Ramadhan.

siang itu aku dan Erna tiba-tiba kebelet pipis bersamaan.
kira-kira jam 3an.
kami melangkah keluar ruangan dan menuju toilet di ujung lantai.

sepenglihatanku hanya ada aku dan Erna di sana.
toilet gedung kantor kami, di lantai 2, terdapat 6 buah pintu kamar mandi.

kami memutuskan untuk mencuci kedua tangan sebelum kami mengeluarkan cairan urin dari organ tubuh kami.

kebetulan saat itu, aku selesai duluan mencuci tangan di wastafel yang memang cukup sering menyala tanpa ada tangan untuk dicuci #kode.

6 pintu toilet terlihat kosong.
3 pintu saling berhadap-hadapan satu sama lain.

namun yang menarik perhatianku, ada 1 pintu pertama, tepatnya sebelah wastafel.
nampak tertutup, namun tidak terkunci.
karena kalau terkunci, akan ada tanda merah, artinya pintu tersebut dikunci.
tetapi yang terlihat adalah tanda biru.

tapi aku tak pikir panjang dan tak berniat memikirkan hal itu berkali-kali.
karena ada yang ingin buru-buru kukeluarkan dari lubang kehidupan ini #LOL.

aku memilih toilet persis di depan toilet yang nampak seperti terkunci itu.
dan masih terdengar Erna sedang mengeringkan tangannya.

karena pintu setiap toilet tidak sampai lantai, kira-kira sejengkal tangan terbuka.
jadi akan terlihat kaki-kaki orang yang lewat di depan toiletku.

beberapa detik kemudian…
satu..
dua..
tiga..

tiba-tiba ada yang keluar dari toilet persis di depan toilet yang kugunakan.
padahal seingatku pintunya tak terkunci.
dan sesaat orang itu keluar.
Erna menuju ke arah yang berlawanan.

aku melihat sepasang kaki yang keluar dari toilet persis depan toilet ku itu berjalan dan berpapasan dengan kaki Erna.

“mungkin ada cleaning service sedang membersihkan toilet sebrangku tadi.”

kemudian aku dengar suara orang sedang mencuci tangan dan mengeringkan tangannya.

“mungkin cleaning service tadi mencuci tangannya.”

kuperbanyak pikiran-pikiran yang positive.

dan setelah selesai, aku keluar dari toilet dan hendak membersihkan tangan.

“Er, tadi ada orang ya selain kita?”, tanyaku kepada Erna yang masih di toilet ketiga, persis di ujung.

“Kayanya ada deh Zra. Soalnya aku denger ada yang cuci tangan.”, sahut Erna sambil berjalan ke arahku hendak mencuci tangan bersama.

“Tadi ada orang yang keluar dari toilet itu ya?”, tanyaku.

“Ah engga ah, dari tadi toilet itu kosong!”, Erna menjawab.

“Tapi aku liat di kolong pintu, kaki kalian papasan”, kataku meyakinkan.

“Ah engga mungkin, dari tadi aku ga papasan sama siapa-siapa, aku mikirnya ada orang setelah aku masuk”, Erna mematahkan keyakinanku.

Kemudian kami seperti menemukan jawaban di tengah ribuan pertanyaan membanjiri otak kami.
Buru-buru kami menyelesaikan pencucian tangan-tangan ini.
Kami keluar tanpa mengeringkan kedua tangan.

Sambil tertawa penuh makna, meyakinkan diri kalau semua itu baik-baik saja.

“Mungkin karna mau puasa kali ya, Zra”, kata Erna saat kami sampai di ruangan kerja.

Bingung dengan kemungkinan Erna.
Namun sebelum ku bertanya padanya, ia buru-buru mencegatku,

“Soalnya kalo bulan puasa kan setan-setannya dikerangkeng, jadi puas-puasin dulu keluyurannya”, kata Erna sigap.


“HAHAHAHAHAHHAHAHA”, dengan kencang dan penuh kepuasan kami luapkan demi membayar kegetiran nyali kami di toilet tadi.


PS : Selamat Menunaikan Ibadah Puasa buat teman-teman yang merayakan. Ini kisah nyata loh, baru kemarin kejadiannya, fresh from the oven!

Tuesday, 21 April 2015

08:56 - No comments

The Fake Pine Tree

"di rumah kalian enggak ada pohon natal kaya begini kan!",
sanggah Tulang Sam yang membuyarkan kekagumanku pada keelokan kerlap-kerlip pohon cemara buatan ini.

aku masih termangu namun entah mengapa hatiku bergerak entah kemana.
berlari namun tetap di tempat.
berteriak namun tak menggunakan pita suara.
menangis namun kutunggu-tunggu datangnya air yang rasanya asin itu,
tapi tetap ia tak mau keluar bila dirasa bukan waktunya.
"kejam kali ucapan Tulang ini",
begitu ucapanku dalam hati.

perlahan ku langkahkan kaki-kaki ku ini keluar menuju pintu di depan.
berat sekali, itu yang kurasakan saat aku hendak mengangkat kaki demi kaki,
agar setiap langkah terlihat dengan begitu pasti.

ya. itu jalan-jalan dimana aku melangkahkan hidupku.
berat.
licin.
susah payah kugapai sampai depan pintu rumah Tulang Sam.

tak terasa setiap inchi ubin melewati tahun demi tahun,
dimana aku menjaga jarak dengan pohon natal buatan itu, tepatnya di tempat Tulang Sam berdiri.
tersenyum penuh bangga kepada dirinya sendiri.

dan sampai juga pada pintu itu,
kupegang gagang pelana pintunya, dan kubuka pintu itu.

nampak dengan perawakan yang lesu, Tulang Sam menangis dan meminta belas kasihanku.
"bereku naburju, Tulangmu ini lapar",
tangisannya perlahan membuat hatiku sendu.

ingin rasanya ku balas dengan perkataannya dahulu,
"di rumah Tulang gak ada makanan kaya di sini kan!"
tapi pohon natal itu mengingatkanku, kerlap-kerlip lampu yang saat itu kutakjub akan parasnya.
setiap cahaya yang keluar dari lampu itu menyadarkanku,
bahwa keindahan itu bukan untuk disimpan saja dan dinikmati sendiri.
namun harus dibagi, diberi, apalagi dengan orang-orang terkasih.
"Tulang Sam sudah banyak menerima pembelajaran dari Sang Semesta,
pantasnya, aku, bere tercintanya, tak perlu lagi mengajarinya kembali."
senyumku mengembang.

aku memeluk Tulang Sam, dan kami menangis dalam sebuah pelukan.

“The difference between the rich and the poor, is finding true love.” - Anthony Liccione

Friday, 17 April 2015

10:15 - No comments

Diamond on Saturday

"guuuuukkkk...guuuukkkkk..."
"goooookkkkk...goooookkkkkk!!!"
suara-suara bising itu membuyarkan lamunanku.
ciri khas daerah yang sedang kusinggahi akhir minggu ini,
tempat yang memang tak asing lagi bagi jari-jari kaki kecilku.

dalam-dalam kuhisap semua udara di dalam paru-paru,
yang kutahu bentuknya akan mengempis.

kutahan.
kubuang perlahan.
"Margasari jauh banget ya Tuhan!",
gumamku sendirian.

tak peduli apa kata manusia-manusia yang heran melihatku,
"kok ngomong sendirian mba?",
sapa mas-mas di sebelahku dengan penuh senyuman geli.

aku tak menjawab, hanya sesungging garis lengkung kepunyaanku di Sabtu pagi yang kulemparkan ke hadapannya.

kutengok ke kiri jalan, kucari-cari yang selalu kutunggu,
bukan cinta,
bukan harta,
bukan pula tahta.

ya. tak lain, dan tak bukan, aku menunggu bus trans-jakarta.

ku lap semua keringat yang mulai menetes ke pasminah hitam kesukaanku.
tak sengaja tercium aroma yang mengganggu hidung kecilku ini.
"ah aku belom mandi!",
seruku dalam hati, dan mas-mas tadi pun nampak tertawa kecil melihat kelakuanku,
kurasa ia mulai aneh dengan segala hal dalam diriku ini.

semenit kemudian tiba juga bus trans-jakarta yang sedari tadi kutunggu dan kunanti-nanti.
"Grogol.. Grogol!",
teriak pria paruh baya yang berlabel satgas itu.

kulangkahkan kaki kananku, dan kulihat bangku demi bangku penuh terisi.
bahkan untuk berdiri pun aku harus mencari spasi yang cukup untuk ku dapat merenggangkan otot-otot.
"mba dari Cililitan mau ke Margasari? Jauh juga ya..",
tiba-tiba ada suara yang tak asing di telinga mengejutkanku di tengah himpitan para penumpang.
"apa sih mas-mas sok asik ini!"
dumelku dalam hati.
"Permata, nama yang bagus."
ucapnya lembut, namun entah mengapa hatiku tersengat listrik saat itu juga.

tak percaya dengan apa yang kudengar, ku angkat kepalaku dan baru saja aku ingin bertanya,
tiba-tiba,
telunjuk tangannya yang besar mengarah ke tas genggamku.

dan kulihat ada gantungan tas yang menyembul dari lubang kecil dan bertuliskan namaku.
kemudian ku tersenyum malu di hadapannya. seberusaha mungkin kusembunyikan kebodohanku ini.

shelter demi shelter kami lalui, walaupun dengan sedikit usaha dan jerih payah untuk menahan tekanan dari segala penjuru.
dan tibalah pula kami pada shelter beridentitaskan patung besar yang sedang mengangkat tangan kanannya ke depan.
kemudian satgas yang sama berteriak,
"Pancoran.. Pancoran!"
mas-mas tadi menepuk pundakku, sambil tersenyum ia berkata,
"hati-hati di jalan",
dan selanjutnya memberikan secarik kartu kecil kepadaku.

aku termangu melihat tingkah laku mas-mas yang baru saja tahu namaku ini.

kulihat kartu kecil pemberiannya, warna cokelat muda, berhiaskan butir-butir hiasan permata.
ku balikkan kertas kartu itu, dan kulihat ada beberapa kata di sana.
"A diamond doesn't start out polished and shining.
It once was nothing special, but with enough pressure and time, becomes spectacular.
I'm that diamond."
tersenyum haru saat kubaca tulisan itu. tak dapat terelakkan sesuatu yang manis yang telah dilakukan mas-mas yang sedari tadi mengganggu keeksisanku di jagat trans-jakarta ini.

tersentak kupikirkan kata demi kata, kalimat demi kalimat.
"Diamond kan berlian!",
sanggahku dalam hati.
"ah tak apalah, sama saja maknanya. berlian atau permata, yang penting aku mahal harganya."
kemudian bus trans-jakarta melaju kencang, berjalan santai di atas kebahagiaan yang sederhana.
kebahagiaan dimana hanya aku seorang yang punya.
kesenangan yang mungkin orang menganggapnya berlebihan.

berharap hari ini jangan cepat berlalu,
karena semesta tahu Sabtu ini milik seorang Permata.

dan mas-mas tadi mengingatkanku dengan segala kemanisan-kemanisan yang dilakukannya,
bahwa aku memang berharga,
juga bercahaya.

saat itu juga aku berdoa atas nama Sang Khalik,
"Jodoh pasti bertemu,"
gumamku dengan pasti dan penuh pengharapan.

Thursday, 16 April 2015

09:32 - No comments

Semangkok Acar untuk Tuhan dan Cinta



Berikut ini dua pertanyaan yang paling kubenci:
Apa itu cinta?
Apa itu Tuhan?
Aku membenci kedua pertanyaan itu sepenuh hati sampai kudedikasikan seluruh hidupku untuk mencari jawabnya,
agar kedua pertanyaan itu berhenti menghantui.
Dan tidak ada yang lebih memahitkan mulut, memualkan perut, menyesakkan jantung,
ketika seseorang muncul dengan kertas dan pulpen, atau alat perekam, di tengah jam makan siang,
saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, saat makanan di piring memohon perhatian penuhmu,
dan orang itu bertanya:
“Menurut Anda, apa itu cinta?”
Demi sopan santun dan etika budaya, aku tahankan garpu agar tak mencelat ke bola matanya,
dan kugenggam erat-erat piringku agar tak pecah jadi dua di atas batok kepala wartawan itu.

Aku hanya menggeram dan mengulang:
“Cinta?”
Si wartawan pun berpikir bahwa pertanyaan brilian berikutnya akan memancing jawaban lebih panjang dan lebih mencengangkan,
yang akan menghibur para pembaca majalahnya bersama-sama artikel 10+1 cara bercinta paling panas dan peta terbaru menuju spot-spot orgasmik yang selama ini tersembunyi.
Dan dia sungguhan nekat bertanya:
“Menurut Anda, apa itu Tuhan?”
Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan benda-benda dalam radiusku yang sangat mungkin kujadikan senjata pembelaan diri atas serangan pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu.

Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta dan Tuhan yang pernah dimuntahkan mulutku seperti peluru dari senapan otomatis yang begitu hebat dan jenius hingga menembusi hati orang-orang yang mendengarnya.
Aku teringat buih dan busa di sudut mulutku saat berdiskusi tentang cinta dan Tuhan yang jika dikumpulkan barangkali bisa merendam tubuhku sendiri di bak mandi.
Aku teringat jerih payah, keringat, air mata, pegal-pegal, kurang tidur, tak makan, tak minum, yang telah kutempuh demi mencari apa itu cinta dan Tuhan.
Dan kini, meski sanggup, tak muncul secuil keinginan pun untuk mengutip data dalam ingatanku.

Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk.
“Begini,” aku mulai menjelaskan,
“pertama-tama, dengan mengetahui apa itu cinta, kita akan mengetahui Tuhan.
Dan ketika kita mengetahui Tuhan, kita juga jadi tahu apa itu cinta.
Jadi, kita bisa mengungkap keduanya sekaligus.”
Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan badannya ke depan, matanya berbinar antusias.
Semakin yakinlah ia betapa cemerlangnya pertanyaan-pertanyaan itu, betapa bermutu dan menantangnya.
“Tapi saya tidak ingin menjawab ini sendirian.
Saya ingin mencarinya bersama-sama. Anda setuju?”
ucapku dengan sikap tubuh yang seolah hendak mengambil ancang-ancang.

Wartawan itu terkesiap. Tak siap.
Namun rasa penasarannya terusik, dan ada keinginan kuat untuk mempertahankan reputasinya sebagai sang penanya brilian.
Akhirnya, ia mengangguk setuju. Aku lantas menyambar mangkok berisi acar, mencomot dua bawang merah utuh,
dan memberikan satu butir kepada wartawan itu.
“Ayo, kita kupas. Pakai kuku.”
Dan tanpa menunggu, dengan semangat dan giat aku mulai mengupas.

Meski ragu, si wartawan mulai ikut. Mukanya tampak enggan dan berkernyit-kernyit tanda tak rela.
“Ayo. Terus, sampai habis.”
Sesekali aku mengingatkan, karena sering kali dia berhenti atau melambat.
Demikianlah kami berdua, dengan mata mengerjap-ngerjap perih,
mengupasi bawang dengan kuku yang akhirnya jadi lebih mirip mencacah,
dengan serpih-serpih bawang yang berantakan mengotori meja.
Dan akhirnya kami berhenti ketika serpih terakhir sudah terlampau kecil untuk bisa dikupas.
Berlinangan air mata, yang jatuh bukan karena duka atau suka, aku pun berkata:
“Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam apa-apa.”
Sambil terisak, yang bukan karena haru bahagia atau haru nelangsa,
lagi aku berkata:
“Itulah cinta. Itulah Tuhan.
Pengalaman, bukan penjelasan.
Perjalanan, dan bukan tujuan.
Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban.”
Ditandai air mata ‘cinta’ yang menghiasi pipi kami berdua serta aroma ‘tuhan’ yang meruap segar dari kuku, wawancara siang itu usai.

Artikel itu kemudian terbit. Tanpa baris-baris kalimat.
Hanya gambar besar semangkok acar bawang.
Dan mereka yang membacanya menyangka bahwa itu resep afrodisiak.
Mereka lalu melahap semangkok acar bawang, bercinta,
sambil terus bertanya-tanya:
Apa itu cinta?
Apa itu Tuhan?



****-*******

Wednesday, 1 April 2015

15:53 - No comments

Punggung Ayam

Sahabatku yang lahir di negeri orang,
lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana.
Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk,
ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggungnya saja.

Hanya itu yang mampu ibunya beli.
Sahabatku pun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam memiliki bagian lain selain punggung.
Ia tidak tahu ada paha, dada, atau sayap.
Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam.

Aku menghela napas.
Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah.
Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta.
Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja.

Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya.
Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar.
Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan.
Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.

Sahabatku itu adalah orang yang berbahagia.
Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian yang lain.
Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki.

Aku adalah orang yang paling bersedih,
karena aku mengetahui apa yang tidak sanggup kumiliki.

#sepenggalkaryadewilestari

Tuesday, 31 March 2015

09:44 - No comments

"Satu Milyar"

seorang janda di pinggir kota kami terlihat sedang berseri-seri sehabis pulang bergereja.
nampak kakinya yang kecil melangkah dengan amat ringan dan tak ada beban sama sekali.

"ritual mingguannya", sahut pria berkacamata kepada teman yang duduk persis di sampingnya.

"dasar orang miskin sok kaya!", pria bongsor lainnya menambahkan.

aku hanya memerhatikan sekelilingku dengan seksama.
aku mendengar semua yang mereka bicarakan.
aku melihat semua yang mereka lakukan.

"tukang komentar", begitu aku menyebut kedua pria yang terhormat di kota kami ini.

kembali ku berpaling mencari-cari sosok janda tua tadi.
seingatku memang janda tua ini hidup miskin,
bahkan untuk sesuap nasi pun, kurasa ia harus menguras tenaga demi mengais gelas-gelas aqua bekas.

********

satu waktu aku sedang berbincang dengan Tuanku di langit-langit jagat raya.
"Wan, mana kau pilih, mendapat 1 Milyar, atau memberi 1 Milyar?"
"pertanyaan macam apa itu?", pikirku.

saat dilihatNya, aku tak menjawab.
kemudian Tuan meninggalkanku dan tersenyum penuh makna,
"senyuman licik", aku menyebutnya dalam hati.

*******

setahun kemudian janda tua yang rajin bergereja itu meninggal dunia.
dan tanpa kusadari ternyata proses pemakamannya amat ramai diikuti seluruh warga.
tanpa terkecuali.

berbeda sekali dengan 2 bulan yang lalu, tepatnya saat kedua pemimpin kota kami, 'tukang komentar', begitu aku menyebutnya, itu meninggal dunia.
kuburannya sepi.
bahkan sanak saudara dan kerabatnya pun tak ada yang nampak.

"Inilah bedanya definisi ‘orang miskin’ dan ‘orang kaya’ di hadapanKu", tiba-tiba suara Tuan yang lembut membuyarkan lamunanku.

"maksudnya apa Tuan?", selaku.

"Orang miskin akan selalu merasa ‘kurang’ sekalipun apa yang ada di dalam tangannya itu banyak."

"Sebaliknya, orang kaya akan merasa selalu ‘lebih’ dengan berapapun yang mereka miliki."
aku bingung tak mengerti ucapan Tuanku ini.
"Mental ‘kaya’ inilah yang dimiliki oleh seorang janda miskin yang mempersembahkan dua keping peraknya ke gereja", Tuan melanjutkan.

"RITUAL MINGGUAN?", tanyaku.

"Ia selalu merasa lebih dengan berapapun yang dipercayakan kepadanya, sehingga ia ingin memberi."

"Dengan kata lain, ‘orang kaya’ akan selalu ingin memberi karena ia selalu merasa memiliki lebih dengan berapapun yang ia punya."

"Inilah yang membedakan orang kaya dan orang miskin", Tuan menjelaskan.

Ia melanjutkan, "kau bisa mempunyai kekayaan yang lebih banyak, tapi kau akan tetap menjadi orang miskin jika kau selalu merasa tidak ada ‘uang lebih’ yang bisa kau berikan."

dan teringat ku dengan pertanyaan 1 Milyar yang lalu.
senyumNya yang kuanggap 'licik' itu kembali menjawab keraguanku selama ini.


bahwa memang lebih baik memberi daripada menerima.

Thursday, 26 March 2015

13:21 - No comments

"aku kena karma"

bulir-bulir air berjatuhan dari kerutan keningnya.

oksigen dan karbondioksida bercampur menjadi satu,
masuk dan keluar dari mulut yang tak sanggup berkata-kata.

"aku kena karma", lirihnya yang penuh pilu.

sekuat tenaga pria paruh baya itu bangkit dari keterpurukannya.

berusaha dengan segenap hati dan pikirannya untuk mengembalikan ke keadaan semula.

namun, apa daya,

"aku kena karma", terucap kembali dari bibirnya yang menghitam.

setiap bulu roma dalam tubuhku cukup bergeming saat kulihat matanya yang sendu.

ada air yang perlahan-lahan membasahi pipiku.

ada hati yang mati rasa saat kudengar ia berucap,

"aku kena karma".

detik melaju kencang tak seperti hukumnya.
angin tak bertiup sama sekali, tapi dinginnya menusuk ke sendi-sendi setiap tulang.

tak ada titik cahaya.
namun tak berarti gelap.

tak ada udara.
namun tak berarti sesak.

tak ada kematian.
namun tak berarti ada pengharapan.

aku menoleh, melirik kembali kepada pria paruh baya tadi.

tak sengaja kulihat ada papan penuh dengan tulisan :
    1. tukang mark up anggaran
    2. tukang motongin gaji karyawan
    3. tukang manipulasi data absensi pegawai
    4. tukang nonton blue movie di kantor
    5. tukang fitnah sesama karyawan
    6. tukang bertindak sesuka hati dengan kekuasaan posisi
    7. tukang ngorok sehabis jam makan siang
dan masih banyak tulisan lain yang tak sempat kubaca dengan jelas.

tiba-tiba kudengar sekelebat hitam memanggilnya dengan,

"Roncyaiful",

namaku sendiri.


kemudian buru-buru aku keluar dan berlari,

dan bangun dari tidurku ini,
dan berharap ini semua hanya mimpi.

dan berdoa agar yang keluar dari bibir penuh dusta ini hanyalah,


"aku (hampir) kena karma".

Monday, 16 March 2015

11:54 - No comments

i have no choice??

"SAYA TIDAK PUNYA PILIHAN"

....... adalah kalimat yang diucapkan banyak orang untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Sebuah vonis yang fatal, dan sering kali tidak benar, menurut saya.

Bagaimana jika pilihan itu ada, tapi kita yang dengan sengaja memalingkan muka?

atau,
Bagaimana jika di balik pilihan itu, tersimpan hari-hari yang lebih indah?

atau juga,
Bagaimana jika pilihan itu duduk manis di ujung sana, menanti kita melangkah ke arahnya?

menurut saya,

Saat kita tidak bahagia, pilihan selalu ada.

Saat kita layak akan yang lebih baik, pilihan selalu ada.

Saat kita cukup berani, pilihan selalu ada.

Pilihan memang selalu ada.

Tapi ia tidak akan menunggu selamanya.

Friday, 13 March 2015

09:48 - No comments

"The Conscience"

Terkadang saat menyaksikan kelakuan para pejabat rakus yang menyengsarakan rakyat,
kemudan kita bergumam, “dasar enggak punya nurani.”

Kemudian saat melihat para pimpinan atau pihak-pihak yang punya kekuasaan malah merugikan karyawan yang notabene tak punya hubungan yang cukup dekat,
kita kerap bergumam, “dasar enggak punya nurani.”

Lalu, ketika kita melihat seorang wanita ditinggal pergi oleh kekasihnya dan kabur dengan wanitanya yang lain,
kita juga bergumam kembali, “dasar enggak punya nurani.”

“Enggak punya nurani.”

Saya jadi merenung.
Apa yang terjadi dengan nurani orang-orang itu?
Apakah ia pergi begitu saja?
Benarkah nurani bisa mati?
Ataukah mungkin ia ada, tetapi memutuskan untuk diam?

Menurut saya pribadi, sampai kita mati, nurani tidak akan pernah berhenti berbicara.
Ia bagai sekeping zat Tuhan yang bersemayam di dalam diri kita, manusia.

A moral compass, constantly reminding us of what’s right or wrong.

Ia tidak akan berhenti berbicara.
Tetapi kita bisa memilih untuk tidak mendengarkan.
Dan saat kita semakin fasih terlatih untuk tidak mendengarkan,
suaranya yang lantang perlahan akan menjadi lirih.

Mendengarkan nurani ataupun mengabaikan nurani, adalah keterampilan yang bisa dilatih.

Tapi selama kita bernafas, nurani tidak akan pernah diam.

Ia hanya bisa DIBUNGKAM.

Wednesday, 21 January 2015

09:46 - No comments

senjaku vulgar, senjamu?

senja selalu enak dipandang, aromanya sungguh merupakan kelegaan bagiku.
ya, karena itu berarti hari hampir berlalu.

semakin kunikmati lekat-lekat, semakin pula senjaku buru-buru lewat di hadapanku.

namun, entah mengapa, di hari itu, senjaku tak seindah biasanya.

"ADUH!", teriakku dalam benak ini.

kurasakan bulu tengkukku merekah tak beraturan.
sel-sel dalam tubuhku nampaknya ingin buru-buru keluar dari rumahnya.
hormonku berdemonstrasi agar kuikuti mau mereka.
para saraf sensorik dan motorik dalam tubuhku berunjuk rasa, layaknya meminta hak.

hak untuk dikeluarkan dari seonggok ciptaan Tuhan yang paling indah di muka bumi,
aku, si manusia.

"BURU! BURU! CEPETAN DONG!!", kurasa begitulah celotehnya.

kutahan, kuredam, dan kubujuk semua hasrat dan nafsuku.
ini bukan waktunya, kawan.
ini bukan tempatnya, kawan.

"AKU TERANGSANG!", otakku menyimpulkan.

mulutku komat-kamit seperti orang gila, padahal hatiku sedang sungguh-sungguh berdoa.

"TUHAN, AKU ENGGAK KUAT!", saat kulihat ia yang kudamba sedang duduk menggodaku.

kulihat ia seperti sudah siap melahapku.
menampung segala keluh kesahku.
menerkam semua yang ingin kukeluarkan dari tubuh penuh dosa ini.

"CEPET BUKA CELANA LO!", itulah kalimat pertama yang keluar darinya, batinku.

buru-buru kubuka kancing celanaku, kuturunkan resletingnya.
semakin kubuka, semakin pula birahiku menggedor dengan keras.
semakin kuturunkan celanaku, nafasku semakin memburu, berkejar-kejaran dengan segala hormon-hormon yang ada di dalamku.

kemudian dengan nafsu, kubuka segala hal yang menutupinya, di senja itu.
kuyakin ia juga amat merindukanku untuk menikmatinya.
karena ia tahu bahwa aku tak akan bisa hidup tanpanya.

"AAAAHHHHHH!"

"OOOOOHHHHHH!!"

"CROOOOTTTT... CRRROOOOTTTTT!"

semuanya keluar.
segala hormon. segala liquid. segala ekstrak. dan apapun itu namanya.

kulihat ia tersenyum bahagia.
walaupun terlihat cukup kewalahan menerima segala seranganku di senja itu.
nafasnya dan nafasku beradu, sekarang ia yang cukup agresif.
seakan-akan ia memaksaku untuk membelainya dan menekan-nekan bagian tubuhnya.

pada akhirnya,
"LEGA!", itulah perasaan kami berdua, setelah melakukan ritual yang biasa kami lakukan setiap hari.

kemudian kubersihkan tubuhnya. dan kututup lubang pada dirinya yang sedari tadi kubuka, hanya demi melampiaskan birahiku.
kutarik kembali celanaku. dan terakhir, kututup resletingku.

dalam hati kuteriakkan segalanya yang ada dalam benak ini,




"TERIMAKASIH, KLOSETKU! I LOVE YOU!"

Tuesday, 20 January 2015

09:26 - 2 comments

"gadis hujan"

ia selalu melihatnya saat hujan.

"gadis hujan", disebutnya.

ia menyadari bahwa ia sangat berbeda dengannya.
ia sakit-sakitan, sementara sang gadis selalu keluar rumah saat turun hujan.
setidaknya begitu pikirnya.

suatu hari ia nekat melompat dari jendela kamarnya.
ia berlari mengejar gadis tersebut.
gadis itu menyambutnya dengan senyum.
mereka berlarian melawan arah angin.

semakin dilawan, semakin deras hujan membasahi tubuh mereka.
semakin deras, semakin hidup.

angin yang membawa hujan, begitu pula angin,
yang menghilangkan waktu di antara mereka.

ia ditemukan dalam keadaan basah kuyup, keesokan harinya.
tidak bernyawa, sayangnya.

angin yang membawa hujan pergi, begitu juga yang membawa deritanya pergi.


seluruh penduduk desa mengaku melihat bocah itu berlari,
sendirian.


***************************************************************************


PS : anyway for those who haven't watched PK (indian film), i suggest you to watch it.

Saturday, 17 January 2015

18:04 - No comments

Relatif.

Sebelum saya menutup 17 Januari 2015 ini, ijinkan saya menceritakan sebuah pengalaman sahabat saya terkasih.

---------------------------------

Tepatnya 1,5 tahun lalu sahabat saya (pria) mengenalkan pacar barunya kepada saya.
Yang perkenalan sampai masa penjajakannya tak begitu membutuhkan waktu lama hingga mereka akhirnya menjadi pasangan kekasih.

Saya masih ingat, si pria amat begitu menyayangi dan memanjakan kekasih dan pujaan hatinya ini.
Seringkali tiba-tiba si pria menelpon saya, dan menanyakan, hal-hal apa saja yang "sweet" untuk memenangkan hati seorang wanita.

Aaahhh... Indahnya masa-masa itu! Jujur, saya cukup senang, melihat si pria juga selalu sumringah dan menceritakan keriangan hatinya saat menjalani hari-hari dengan wanita pujaannya.

Namun akhir tahun 2013 kemarin, saat itu juga momen Natal, dan tentunya, si pria ingin memberikan hadiah natal kepada pasangannya.
Si pria sibuk sekali mencarikan kado yang pas untuk si wanita.
Tetapi semua hancur begitu saja, ternyata si wanita sudah memiliki calon suami.

"Gue dibohongin zra sama cewek sialan itu! Kampret!", si pria yang langsung menghubungi saya begitu tahu kalau ia hanya pelarian dari sebuah kejenuhan seorang wanita yang hanya ingin mengukur seberapa besar adrenalin yang dihasilkannya.

Siapa yang salah?
Siapa yang benar?

Siapa yang jahat?
Siapa yang menjadi korban?

Jawabannya satu,
Relatif.

Karena relatif memiliki nama lain,
"Tergantung kondisi."

----------------------------------

Seorang Public Lawyer (PNS, yang dibayar oleh pemerintah) kebanyakan membela terdakwa yang tak begitu punya uang untuk membayar pengacara mahal.
Ia berkata, "40 tahun aku menjadi seorang pengacara untuk rakyat miskin, tapi sampai saat ini, aku masih belum dapat membedakan mana terdakwa yang kubela itu, jujur ataupun berbohong."

Pembohong itu ada dimana-mana.
Berbohong itu dapat dilakukan kapan saja.
Membohongi yang mengasihimu pun dapat dengan mudah kau lakukan tanpa kau tahu kalau itu akan menyakitinya.

Karena kebohongan itu berbicara soal nurani. Nurani adalah tahu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.

Jadi, saat kau berbohong, sesungguhnya nurani mu pun sudah hilang.
Kau sudah tak tahu mana hal yang baik, dan mana hal yang jahat.
Kau sudah tak dapat membedakan kebaikan dan kejahatan.

Dan yang terpenting, kau sudah tak dapat membedakan mana orang yang mengasihimu dengan sepenuh hati, atau yang selalu memodusi hatimu berkali-kali.

Berbohong itu penuh banyak arti, tetapi satu yang saya sadari akhir-akhir ini.
Ia erat kaitannya dengan relatif.
Tidak ada parameter yang kuat mengenai kebohongan.

Salahkah?

Jahatkah?

Burukkah?

Ah. Lagi dan lagi ini bicara teori relatif kembali.

Karena sesungguhnya hidup bukan berwarna hitam atau putih.
Bukan bicara soal mana yang jahat dan mana yang baik.
Bukan lagi mencari siapa yang salah dan siapa yang benar.
Tetapi semua kembali kepada keberanian semua pihak untuk mengubah konteks masalah mereka sendiri.

Relatif.
Ya, relatif, saya cukup sadar, kalau hidup itu hanyalah relatif.

Yang mutlak,
hanyalah saya,
dan dunia saya sendiri.

Friday, 16 January 2015

09:13 - No comments

berawal dari sebuah lubang.

------------------------------------------------------------------------------


sebuah lubang yang dapat dibawa kemanapun itu, cukup menarik perhatianku.
padahal jelas sekali kalau itu hanyalah sebuah lubang biasa.
lubang yang banyak ditemukan di seluruh jagat raya,
bumi tepatnya.
kenikmatan.
ku akui bahwa lubang itu membawa nikmat bagi setiap petarung yang sejati.
kehidupan.
ku sadari bahwa lubang itu akan menciptakan sebuah kehidupan,
yang baru tentunya.
pengorbanan.
dan terakhir, ku pertaruhkan harga diri dan tanggung jawab ku,
hanya demi untuk memasuki lubang itu.
tidak. tidak.

ini bukan sekedar kenikmatan bagi seorang petarung yang haus akan kemenangan.
bukan pula sebuah kehidupan baru yang hanya ada aku dan kamu di sana.
dan tentu bukan juga sebatas pengorbanan dari sebagian diriku yang kecil ini.

lubang itu hanyalah lubang biasa.
lagi-lagi kukatakan lubang itu ada banyak dimana-mana.

tetapi,
lubang itulah yang membuatku sadar,
bahwa kenikmatan dan kehausan seorang petarung akan kemenangan tadi justru membawa sebuah kehidupan yang fana.
kehidupan yang tentu takkan kekal abadi.
dan lagi-lagi, saat semakin aku memasuki lubang itu,
ada sebuah harga yang kupertaruhkan.
harga yang paling mahal dari seluruh hal di galaksi bima sakti ini,
yaitu,
harga diriku sendiri.

ranahku semakin besar.
semakin kuat.
semakin kencang.
seluruh hormonku bergerak tak beraturan.
pikiran dan raga ku sudah tak sejalan lagi.
yang ada dalam hatiku,
yang ada dalam benakku,
ya hanya lubang itu.

lubang yang saat kau buka, hanya ada gelap yang kan kau rasa.
lubang yang saat kau buka, tak ada sesuatupun yang pernah kau lihat sebelumnya.

ya,
lubang itu sepele.

sepele bagi seorang Nobita.

"Lubang Pintu Kemana Saja."


----------------------------------------------------------------------------------------

terinspirasi dari Doraemon Movie, saat Nobita memaksa Doraemon untuk mengetahui bagaimana nasib masa depannya kelak.


tunggu. tunggu.

saya lamunkan hal ini beberapa saat setelah menuangkan coret-coretan tak bermakna ini.
ternyata bukan Pintu Kemana Saja yang kumaksud,

Mesin Waktu!!

ah payah, membedakan Pintu yang berwarna-warni dengan Laci Meja saja, saya tak lolos.

apalagi membedakan perasaan tulus dan sekedar modus? #random

Friday, 2 January 2015

13:22 - No comments

awry..

sering nggak sih kalian merasa "serba salah"??

pada dasarnya, manusia pasti merasa serba salah.

    mau muda.
    mau tua.
    mau kaya.
    mau miskin.
    mau bodoh.
    mau pintar.
    mau jujur.
    mau bohong.

semua serba salah.

tetapi, kekurangan kita sebagai manusia, yang sering kali,
merasa,

    muda.
    tua.
    kaya.
    miskin.
    bodoh.
    pintar.
    jujur.
    bohong.

ini lah yang selalu menyalahkan satu sama lain.

saat yang muda mengungkapkan perasaan hatinya, yang tua merasa itu kurang ajar.
saat yang kaya tak memberi sedikit dari rejekinya, yang miskin merasa itu tak berperasaan.
saat yang bodoh sedang belajar, yang pintar merasa itu hanya hal yang percuma.
saat yang jujur sedang berbicara, yang bohong merasa itu kata-kata pencitraan.

jadi,
kita,
sebagai manusia,
harus bagaimana?

apapun yang kita lakukan selalu salah di mata orang terkasih.
apapun yang kita katakan selalu dianggap menyakitkan di hati orang yang kita sayang.
Sudah..
Lupakan segala cerita..
Antara kita..
hanya melupakan lah yang dapat membuat kita keluar dari perasaan serba salah ini.

LUPAKAN!!
Ku tak ingin, ku tak ingin, ku tak ingin..
Kau terluka..
Karena cinta..
supaya tak ada lagi luka di antara kita, manusia.
karena sesungguhnya luka timbul dari sebuah cinta.

semakin kau cinta, maka akan semakin banyak luka.
namun, bukan berarti hal ini mengajarkan kita untuk berhenti mencinta.
ini hanyalah perkara kau harus mulai belajar untuk lupa.

karena pada dasarnya luka ada untuk menambah kekebalan tubuh manusia.
supaya kamu dan saya semakin kuat.
semakin tangguh.

jadi,
teruslah mencinta.
teruslah terluka.
tapi lagi-lagi, kau harus terus untuk melupakannya semua.
"the loss of memory isn't always the problem.
sometimes,
maybe even often,
it's the solution."
mungkin tepatnya pura-pura lupa. :)


*PS : Terinspirasi dari lirik lagu "SERBA SALAH" nya Raisa (penyanyi yang cantiknya pake banget itu)*