Friday 13 March 2015

09:48 - No comments

"The Conscience"

Terkadang saat menyaksikan kelakuan para pejabat rakus yang menyengsarakan rakyat,
kemudan kita bergumam, “dasar enggak punya nurani.”

Kemudian saat melihat para pimpinan atau pihak-pihak yang punya kekuasaan malah merugikan karyawan yang notabene tak punya hubungan yang cukup dekat,
kita kerap bergumam, “dasar enggak punya nurani.”

Lalu, ketika kita melihat seorang wanita ditinggal pergi oleh kekasihnya dan kabur dengan wanitanya yang lain,
kita juga bergumam kembali, “dasar enggak punya nurani.”

“Enggak punya nurani.”

Saya jadi merenung.
Apa yang terjadi dengan nurani orang-orang itu?
Apakah ia pergi begitu saja?
Benarkah nurani bisa mati?
Ataukah mungkin ia ada, tetapi memutuskan untuk diam?

Menurut saya pribadi, sampai kita mati, nurani tidak akan pernah berhenti berbicara.
Ia bagai sekeping zat Tuhan yang bersemayam di dalam diri kita, manusia.

A moral compass, constantly reminding us of what’s right or wrong.

Ia tidak akan berhenti berbicara.
Tetapi kita bisa memilih untuk tidak mendengarkan.
Dan saat kita semakin fasih terlatih untuk tidak mendengarkan,
suaranya yang lantang perlahan akan menjadi lirih.

Mendengarkan nurani ataupun mengabaikan nurani, adalah keterampilan yang bisa dilatih.

Tapi selama kita bernafas, nurani tidak akan pernah diam.

Ia hanya bisa DIBUNGKAM.

0 komentar:

Post a Comment