Saturday 17 January 2015

18:04 - No comments

Relatif.

Sebelum saya menutup 17 Januari 2015 ini, ijinkan saya menceritakan sebuah pengalaman sahabat saya terkasih.

---------------------------------

Tepatnya 1,5 tahun lalu sahabat saya (pria) mengenalkan pacar barunya kepada saya.
Yang perkenalan sampai masa penjajakannya tak begitu membutuhkan waktu lama hingga mereka akhirnya menjadi pasangan kekasih.

Saya masih ingat, si pria amat begitu menyayangi dan memanjakan kekasih dan pujaan hatinya ini.
Seringkali tiba-tiba si pria menelpon saya, dan menanyakan, hal-hal apa saja yang "sweet" untuk memenangkan hati seorang wanita.

Aaahhh... Indahnya masa-masa itu! Jujur, saya cukup senang, melihat si pria juga selalu sumringah dan menceritakan keriangan hatinya saat menjalani hari-hari dengan wanita pujaannya.

Namun akhir tahun 2013 kemarin, saat itu juga momen Natal, dan tentunya, si pria ingin memberikan hadiah natal kepada pasangannya.
Si pria sibuk sekali mencarikan kado yang pas untuk si wanita.
Tetapi semua hancur begitu saja, ternyata si wanita sudah memiliki calon suami.

"Gue dibohongin zra sama cewek sialan itu! Kampret!", si pria yang langsung menghubungi saya begitu tahu kalau ia hanya pelarian dari sebuah kejenuhan seorang wanita yang hanya ingin mengukur seberapa besar adrenalin yang dihasilkannya.

Siapa yang salah?
Siapa yang benar?

Siapa yang jahat?
Siapa yang menjadi korban?

Jawabannya satu,
Relatif.

Karena relatif memiliki nama lain,
"Tergantung kondisi."

----------------------------------

Seorang Public Lawyer (PNS, yang dibayar oleh pemerintah) kebanyakan membela terdakwa yang tak begitu punya uang untuk membayar pengacara mahal.
Ia berkata, "40 tahun aku menjadi seorang pengacara untuk rakyat miskin, tapi sampai saat ini, aku masih belum dapat membedakan mana terdakwa yang kubela itu, jujur ataupun berbohong."

Pembohong itu ada dimana-mana.
Berbohong itu dapat dilakukan kapan saja.
Membohongi yang mengasihimu pun dapat dengan mudah kau lakukan tanpa kau tahu kalau itu akan menyakitinya.

Karena kebohongan itu berbicara soal nurani. Nurani adalah tahu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat.

Jadi, saat kau berbohong, sesungguhnya nurani mu pun sudah hilang.
Kau sudah tak tahu mana hal yang baik, dan mana hal yang jahat.
Kau sudah tak dapat membedakan kebaikan dan kejahatan.

Dan yang terpenting, kau sudah tak dapat membedakan mana orang yang mengasihimu dengan sepenuh hati, atau yang selalu memodusi hatimu berkali-kali.

Berbohong itu penuh banyak arti, tetapi satu yang saya sadari akhir-akhir ini.
Ia erat kaitannya dengan relatif.
Tidak ada parameter yang kuat mengenai kebohongan.

Salahkah?

Jahatkah?

Burukkah?

Ah. Lagi dan lagi ini bicara teori relatif kembali.

Karena sesungguhnya hidup bukan berwarna hitam atau putih.
Bukan bicara soal mana yang jahat dan mana yang baik.
Bukan lagi mencari siapa yang salah dan siapa yang benar.
Tetapi semua kembali kepada keberanian semua pihak untuk mengubah konteks masalah mereka sendiri.

Relatif.
Ya, relatif, saya cukup sadar, kalau hidup itu hanyalah relatif.

Yang mutlak,
hanyalah saya,
dan dunia saya sendiri.

0 komentar:

Post a Comment