Tuesday, 29 September 2015

14:22 - No comments

k.a.k.t.u.s

bagi sebagian orang,
kaktus hanyalah tanaman yang durinya menusuk jari.

bahkan identitas kaktus erat kaitannya dengan gurun pasir yang panas.

ada juga yang beranggapan,
kaktus tak perlu diurus.
karna dengan sendirinya ia dapat tumbuh tanpa disiram dan diberi pupuk.

rupa kaktus yang tak begitu menawan,
membuatnya jarang diperhatikan di kalangan wanita pencinta tanaman.

berwarna hijau kegelap-gelapan.

bertubuh gemuk dan kadang agak sedikit bantet.

dan tentunya durinya yang tak bisa termaafkan.

mengapa kaktus tak seperti mawar yang sering dijadikan hiasan dan dapat mempercantik segala hal,
dan bahkan dijadikan simbol cinta bagi kebanyakan pasangan.

mengapa kaktus tak seperti anggrek yang populasinya banyak ditemukan.
yang bahkan khasiatnya dapat menyembuhkan beberapa penyakit,
seperti anggrek hitam.

mengapa kaktus tak sewangi melati yang sering ditemukan di berbagai kejadian,
baik duka maupun suka,
dan malah baunya dipakai sebagai pengharum badan maupun ruangan.

atau mengapa kaktus tak seperti putri malu,
yang saat seseorang melihat,
buru-buru ingin menyentuh.

kenapa tak ada yang mengingat,
kalau kaktus punya cadangan air yang banyak.
dan fakta mengatakan air di dalam kaktus bahkan dapat memisahkan 98% bakteri dari air.

kalau saja kaktus terurus dengan baik,
diberi air dan diberi pupuk dengan rajin,

aku bertaruh demi semesta dan seluruh isinya,
tujuh tahun dengannya tak akan pergi dengan begitu saja.

kini kaktus kami sudah mati,
kering,
dan tak menghasilkan air lagi.

sama seperti aku dan dirinya yang berjalan sendiri-sendiri,
tanpa ada kaktus yang menjembatani.

Wednesday, 16 September 2015

16:17 - No comments

"sampai jumpa besok pagi, Ma!"

sembilan belas tahun bukan waktu yang singkat.
namun belum juga dapat disebut waktu yang panjang.
-bagiku, seorang yang menjunjung tinggi kenikmatan ibukota.-

sembilan belas tahun aku mengabdi pada kerasnya Jakarta.
mempertaruhkan segala kebahagiaan demi selembar kepuasan.
ternyata belum juga membuatku jera dan kapok.
aku masih haus akan materi dan harta.

tapi entah mengapa, pagi itu,
kira-kira tiga tahun yang lalu.
saat Naya, putri semata wayangku, mulai masuk Sekolah Dasar,
cukup melunturkan segala kerelatifitasan duniaku.

karena memang tak ada lagi satupun yang absolut di dunia.
yang ada hanya relatif.
hanya ada kata ‘tergantung situasi’.

“sampai jumpa besok pagi, Ma!”,
seru Naya yang membuyarkan lamunanku.

kujawab dengan senyuman simpul yang penuh banyak arti.
senyuman yang kutahu justru sebuah isakan.
senyum yang menggambarkan kepedihan jiwaku,
ketika darah dagingku hanya dapat kutemui di saat aku mengantarnya ke sekolah setiap pagi.

andai Naya tahu,
kalau Ibunya bukan seorang yang gila harta.
bukan juga seorang yang cinta akan uang semata.

andai Naya tahu,
aku sudah muak dengan harga diriku yang terus-terusan menaikan nilainya.

andai Naya tahu,
kalau sampai kapanpun, uang jauh lebih menang dari sebuah waktu yang tak bersatuan.

syukurnya, Naya tak tahu.
dan tak akan pernah kuberi kesempatan untuk tahu.
kalau Ibunya hanya seorang manusia yang melacurkan segalanya.

melacurkan waktu, melacurkan kebahagiaan, melacurkan masa depan,
melacurkan kemutlakan diri,
dan terlebih melacurkan putri semata wayangnya.

karna yang Naya tahu tentang mamanya hanyalah sebatas,
“sampai jumpa besok pagi, Ma."