Berikut ini dua pertanyaan yang paling kubenci:
Apa itu cinta?
Apa itu Tuhan?
Aku membenci kedua pertanyaan itu sepenuh hati
sampai kudedikasikan seluruh hidupku untuk mencari jawabnya,
agar kedua pertanyaan itu berhenti menghantui.
Dan tidak ada yang lebih memahitkan mulut, memualkan
perut, menyesakkan jantung,
ketika seseorang muncul dengan kertas dan pulpen,
atau alat perekam, di tengah jam makan siang,
saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, saat makanan
di piring memohon perhatian penuhmu,
dan orang itu bertanya:
“Menurut Anda, apa itu
cinta?”
Demi sopan santun dan etika budaya, aku tahankan
garpu agar tak mencelat ke bola matanya,
dan kugenggam erat-erat piringku agar tak pecah
jadi dua di atas batok kepala wartawan itu.
Aku hanya menggeram dan mengulang:
“Cinta?”
Si wartawan pun berpikir bahwa pertanyaan brilian
berikutnya akan memancing jawaban lebih panjang dan lebih mencengangkan,
yang akan menghibur para pembaca majalahnya
bersama-sama artikel 10+1 cara bercinta paling panas dan peta terbaru menuju
spot-spot orgasmik yang selama ini tersembunyi.
Dan dia sungguhan nekat bertanya:
“Menurut Anda, apa itu Tuhan?”
Jemariku bergetar,
menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan benda-benda dalam radiusku yang sangat
mungkin kujadikan senjata pembelaan diri atas serangan pertanyaan-pertanyaan
paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu.
Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta
dan Tuhan yang pernah dimuntahkan mulutku seperti peluru dari senapan otomatis
yang begitu hebat dan jenius hingga menembusi hati orang-orang yang
mendengarnya.
Aku teringat buih dan busa di sudut mulutku saat
berdiskusi tentang cinta dan Tuhan yang jika dikumpulkan barangkali bisa
merendam tubuhku sendiri di bak mandi.
Aku teringat jerih payah, keringat, air mata,
pegal-pegal, kurang tidur, tak makan, tak minum, yang telah kutempuh demi mencari
apa itu cinta dan Tuhan.
Dan kini, meski sanggup, tak muncul secuil
keinginan pun untuk mengutip data dalam ingatanku.
Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu
minum air seteguk.
“Begini,” aku mulai menjelaskan,
“pertama-tama, dengan mengetahui apa itu cinta,
kita akan mengetahui Tuhan.
Dan ketika kita mengetahui Tuhan, kita juga jadi
tahu apa itu cinta.
Jadi, kita bisa mengungkap keduanya sekaligus.”
Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan
badannya ke depan, matanya berbinar antusias.
Semakin yakinlah ia betapa cemerlangnya
pertanyaan-pertanyaan itu, betapa bermutu dan menantangnya.
“Tapi saya tidak ingin menjawab ini sendirian.
Saya ingin mencarinya bersama-sama. Anda setuju?”
ucapku dengan sikap tubuh yang seolah hendak
mengambil ancang-ancang.
Wartawan itu terkesiap. Tak siap.
Namun rasa penasarannya terusik, dan ada keinginan
kuat untuk mempertahankan reputasinya sebagai sang penanya brilian.
Akhirnya, ia mengangguk setuju. Aku lantas
menyambar mangkok berisi acar, mencomot dua bawang merah utuh,
dan memberikan satu butir kepada wartawan itu.
“Ayo, kita kupas. Pakai kuku.”
Dan tanpa menunggu,
dengan semangat dan giat aku mulai mengupas.
Meski ragu, si wartawan mulai ikut. Mukanya tampak
enggan dan berkernyit-kernyit tanda tak rela.
“Ayo. Terus, sampai habis.”
Sesekali aku mengingatkan, karena sering kali dia
berhenti atau melambat.
Demikianlah kami berdua, dengan mata
mengerjap-ngerjap perih,
mengupasi bawang dengan kuku yang akhirnya jadi
lebih mirip mencacah,
dengan serpih-serpih bawang yang berantakan
mengotori meja.
Dan akhirnya kami berhenti ketika serpih terakhir
sudah terlampau kecil untuk bisa dikupas.
Berlinangan air mata, yang jatuh bukan karena duka
atau suka, aku pun berkata:
“Inilah cinta. Inilah Tuhan. Tangan kita bau
menyengat, mata kita perih seperti disengat, dan tetap kita tidak menggenggam
apa-apa.”
Sambil terisak, yang bukan karena haru bahagia
atau haru nelangsa,
lagi aku berkata:
“Itulah cinta. Itulah Tuhan.
Pengalaman, bukan penjelasan.
Perjalanan, dan bukan tujuan.
Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan
segala jawaban.”
Ditandai air mata ‘cinta’ yang menghiasi pipi kami
berdua serta aroma ‘tuhan’ yang meruap segar dari kuku, wawancara siang itu usai.
Artikel itu kemudian terbit. Tanpa baris-baris
kalimat.
Hanya gambar besar semangkok acar bawang.
Dan mereka yang membacanya menyangka bahwa itu
resep afrodisiak.
Mereka lalu melahap semangkok acar bawang,
bercinta,
sambil terus bertanya-tanya:
Apa itu cinta?
Apa
itu Tuhan?
****-*******