15:09 -
5 comments
"PINOCCHIO"
alasan pertama ingin menutupi keadaan kondisi yang sebenarnya,
dan yang kedua, ingin dianggap unggul oleh sesama.
Ya, kedua alasan tadi kupakai untuk mengada-adakan sesuatu yang tidak ada.
Melebih-lebihkan yang kecil menjadi besar, bahkan kadang besarnya melebihi idealisme mahasiswa.
Entah mengapa menurutku bohong tidaklah salah, walau kutahu pasti ia bagian dari dosa.
Seringkali diriku tanpa sadar memaklumi kebohongan-kebohongan kecil, yang besarannya masih masuk nalar logika sahabat-sahabatku.
Ketika besarannya melampaui batasan, kemudian secara sadar aku berbohong (lagi dan lagi),
100% keyakinanku berkata para sahabat sudah jelas dapat menilai mana yang benar dan mana yang fiktif belaka.
Semakin lama kurenungkan, jangan-jangan keberadaanku tumbuh dari tumpukan dusta yang kubuat.
Hidupku yang justru unik dengan segala kekurangannya, tenggelam dengan kisah-kisah kebohonganku semata.
Dan sahabat-sahabatku pun perlahan mulai menjauh, melindungi dirinya masing-masing karena takut bergaul denganku. Ya mana ada orang yang tahan berdampingan dengan pembual sepertiku.
Dapat disimpulkan kedua alasan tadi masih belum cukup menyadarkanku bahwa berbohong adalah kesalahan yang fatal.
Namun pada akhirnya setelah sekian lama, aku menemukan alasan yang ketiga.
Dan alasan terakhir inilah yang konsekuensinya (akhirnya) dapat mengubahkan diriku.
Selalu merasa tak percaya dengan setiap orang, dan hal tersebut yang cukup memberikan rasa sakit di hati.
Aku tak bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi.
Aku juga tak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan.
Kemudian yang paling parah di antara yang terparah dari alasan yang ketiga ini adalah,
aku tak tahu siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekedar modus.
“The liar's punishment is, not in the least that he is not believed, but that he cannot believe anyone else.” ― George Bernard Shaw, The Quintessence of Ibsenism